Saatnya Membidik Potensi Pasar yang Termarginalkan
marketing3o 300x172 Saatnya Membidik Potensi Pasar yang Termarginalkan
Saya masih terusik dengan tulisan Michael E. Porter, profesor Harvard University di Harvard Business Review edisi teranyar. Dalam tulisannya tentang memikir ulang kapitalisme, Michael Porter melihat adanya fakta bahwa kemajuan di bidang bisnis tidak berjalan seiring dengan kemajuan sosial masyarakat.Praktik bisnis pun diklaim sebagai penyebab utama berbagai persoalan sosial dan keplanetan.
Bagi saya, apa yang ditulis Harvard Business Review adalah sebuah paradoks. Kemiskinan di tengah kemajuan bisnis yang gemilang. Biasanya, salah satu tolok ukur kemajuan adalah seberapa besar jumlah pengangguran yang bisa diminimalisir. Sekarang ini, muncul tuntutan agar bisnis tidak sekadar melakukan bisnis tapi bagaimana bisnis juga mampu mencetak wirausaha. Praktik ini menjadi salah satu jalan mengatasi kemiskinan. Agenda ini pun tidak bertentangan dengan bisnis. Sebaliknya, bisnis di era sekarang dituntut memberi kontribusi pada persoalan kontemporer, yakni kemiskinan dan pengangguran.Inilah salah satu semangatbisnis dalam konsep Marketing 3.0—marketing yang berorientasi pada pada nilai-nilai dan human spirit.
Philip Kotler dalam bukunya Marketing 3.0 yang ditulis bersama Hermawan Kartajaya dan Iwan Setiawan, selama ini distribusi kekayaan itu berbentuk piramid di mana hanya sebagian kecil saja yang memiliki daya beli sangat tinggi. Sebab itu, bentuk ini harus diubah menjadi bentuk berlian—di mana mereka yang berada di bagian paling bawah masih punya daya beli dan bergerak bagian tengah yang membesar. Nah, bentuk berlian ini memungkinkan lebih banyak orang yang mempunyai daya beli yang lebih tinggi dan kemakmuran tidak sekadar dinikmati sekaligus dikuasai oleh segelintir pihak.
Dari metafor berlian dari Philip Kotler ini tampak bahwa kemiskinan bukan disebabkan karena kemalasan maupun ketidakmauan orang untuk bekerja keras. Lebih mendasar dari itu, kemiskinan adalah problem struktural. Ada sistem maupun struktur yang mengkondisikan orang tidak bisa mengakses kekayaan. Sebaliknya, struktur ini mengkondisikan hanya orang-orang maupun kelompok tertentu yang mengenyam dari kue kekayaan itu. Piramid itu struktur dan struktur itu perlu dirombak. Salah satunya menjadi bentuk berlian.
Kotler menyebut ada tiga kekuatan dan empat persyaratan yang harus dipenuhi untuk membentuk pola distribusi berlian tersebut. Pertama, meningkatkan akses mendapatkan informasi dan infrastrukturnya, termasuk teknologi informasinya. Kotler memberi contoh bagaimana Muhammad Yunus—pendiri Grameen Bank dan peraih Nobel Perdamaian 2006—ini membangun literasi informasi di komunitas petani di Bangladesh. Grameen Phone telah membangun interkonektivitas di antara petani dan ini memberdayakan mereka. Di India, misalnya, internet menjadi berkah bagi petani. Mereka bisa dengan cepat mengetahui informasi terkini harga tanaman pangan di dunia. Mereka juga banyak belajar tentang perubahan iklim maupun cara bercocok tanam kontemporer.
Di Indonesia, merek Nokia pernah meluncurkan ponsel khusus untuk petani. Ponsel ini dilengkap dengan fitur “life tolls” yang memungkinkan petani maupun peternak ikan bisa mengakses informasi harga pasar. Nah, semakin jelas, relasi informasi dengan kemiskinan. Sekarang ini, di era yang serba horisontal, para pebisnis bisa memafaatkan ini untuk memperbesar bisnis sekaligus berkontribusi membangun literasi informasi yang semakin menyeluruh. Di pengujung tahun lalu, menurut survei, penetrasi internet di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan negara-negara di Asia.
Kedua, perpaduan antara kelebihan penawaran, underconsumption di pasar yang mapan, dan hiperkompetisi di bagian atas dan tengah piramida. Sekarang, perusahaan harus bisa menjangkau dan menggarap pasar yang selama ini dilupakan. Bank, misalnya, sekarang mulai membidik komunitas rural di pedesaan. Agusman dari Bank Indonesia dalam diskusi di MarkPlus bulan lalu mengatakan bahwa masih ada peluang besar bagi bank menggarap pedesaan. Kata Agusman, 13,3 persen penduduk Indonesia masih di bawah angka kemiskinan. Sementara, 64, 25 persen berada di pedesaan dan 60 persen tidak mempunyai akses perbankan. Lalu, ada sekitar 60-70 persen dari 51,3 juta UMKM belum tersentuh perbankan.Selain bank, perusahaan lain bisa melakukan langkah serupa dengan membidik komunitas-komunitas terpencil. Dell, milsanya, sukses menggarap komunitas rural di India dengan komputer murah. Ini untuk mengimbangi penurunan penjualan di pasar mapan.
Ketiga, kebijakan pemerintah untuk membangun daerah-daerah untuk mencegah laju urbanisasi ke pusat-pusat kota. Tentunya, dengan membangun infrastruktur yang membuat para investor tertarik untuk turut membangun di daerah tersebut. Sementara, pebisnis juga berani memutar uangnya di sana.
Ketiga kekuatan itulah yang menjadi modal menggarap potensi pasar yang selama ini termarginalkan. Toh, dengan membuat piradima ekonomi itu menjadi berbentuk berlian, para pebisnis juga dengan lebih kreatif dan leluasa melakukan inovasi di pasar ini. Banyak yang tidak berani menerjunkan diri ke wilayah rural ini dengan pertimbangan risiko, cost besar, dan sebagainya.Padahal, wilayah terpinggirkan yang mahaluas ini jadi potensi tersendiri untuk digarap. Menurut saya, bagus sekali kesimpulan yang dibuat Kotler: doing well by doing good disruptively—memiliki pertumbuhan bisnis yang bagus dengan memecahkan problem kemiskinan.
Nah, bagaimana dengan bisnis Anda
marketing3o 300x172 Saatnya Membidik Potensi Pasar yang Termarginalkan
Saya masih terusik dengan tulisan Michael E. Porter, profesor Harvard University di Harvard Business Review edisi teranyar. Dalam tulisannya tentang memikir ulang kapitalisme, Michael Porter melihat adanya fakta bahwa kemajuan di bidang bisnis tidak berjalan seiring dengan kemajuan sosial masyarakat.Praktik bisnis pun diklaim sebagai penyebab utama berbagai persoalan sosial dan keplanetan.
Bagi saya, apa yang ditulis Harvard Business Review adalah sebuah paradoks. Kemiskinan di tengah kemajuan bisnis yang gemilang. Biasanya, salah satu tolok ukur kemajuan adalah seberapa besar jumlah pengangguran yang bisa diminimalisir. Sekarang ini, muncul tuntutan agar bisnis tidak sekadar melakukan bisnis tapi bagaimana bisnis juga mampu mencetak wirausaha. Praktik ini menjadi salah satu jalan mengatasi kemiskinan. Agenda ini pun tidak bertentangan dengan bisnis. Sebaliknya, bisnis di era sekarang dituntut memberi kontribusi pada persoalan kontemporer, yakni kemiskinan dan pengangguran.Inilah salah satu semangatbisnis dalam konsep Marketing 3.0—marketing yang berorientasi pada pada nilai-nilai dan human spirit.
Philip Kotler dalam bukunya Marketing 3.0 yang ditulis bersama Hermawan Kartajaya dan Iwan Setiawan, selama ini distribusi kekayaan itu berbentuk piramid di mana hanya sebagian kecil saja yang memiliki daya beli sangat tinggi. Sebab itu, bentuk ini harus diubah menjadi bentuk berlian—di mana mereka yang berada di bagian paling bawah masih punya daya beli dan bergerak bagian tengah yang membesar. Nah, bentuk berlian ini memungkinkan lebih banyak orang yang mempunyai daya beli yang lebih tinggi dan kemakmuran tidak sekadar dinikmati sekaligus dikuasai oleh segelintir pihak.
Dari metafor berlian dari Philip Kotler ini tampak bahwa kemiskinan bukan disebabkan karena kemalasan maupun ketidakmauan orang untuk bekerja keras. Lebih mendasar dari itu, kemiskinan adalah problem struktural. Ada sistem maupun struktur yang mengkondisikan orang tidak bisa mengakses kekayaan. Sebaliknya, struktur ini mengkondisikan hanya orang-orang maupun kelompok tertentu yang mengenyam dari kue kekayaan itu. Piramid itu struktur dan struktur itu perlu dirombak. Salah satunya menjadi bentuk berlian.
Kotler menyebut ada tiga kekuatan dan empat persyaratan yang harus dipenuhi untuk membentuk pola distribusi berlian tersebut. Pertama, meningkatkan akses mendapatkan informasi dan infrastrukturnya, termasuk teknologi informasinya. Kotler memberi contoh bagaimana Muhammad Yunus—pendiri Grameen Bank dan peraih Nobel Perdamaian 2006—ini membangun literasi informasi di komunitas petani di Bangladesh. Grameen Phone telah membangun interkonektivitas di antara petani dan ini memberdayakan mereka. Di India, misalnya, internet menjadi berkah bagi petani. Mereka bisa dengan cepat mengetahui informasi terkini harga tanaman pangan di dunia. Mereka juga banyak belajar tentang perubahan iklim maupun cara bercocok tanam kontemporer.
Di Indonesia, merek Nokia pernah meluncurkan ponsel khusus untuk petani. Ponsel ini dilengkap dengan fitur “life tolls” yang memungkinkan petani maupun peternak ikan bisa mengakses informasi harga pasar. Nah, semakin jelas, relasi informasi dengan kemiskinan. Sekarang ini, di era yang serba horisontal, para pebisnis bisa memafaatkan ini untuk memperbesar bisnis sekaligus berkontribusi membangun literasi informasi yang semakin menyeluruh. Di pengujung tahun lalu, menurut survei, penetrasi internet di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan negara-negara di Asia.
Kedua, perpaduan antara kelebihan penawaran, underconsumption di pasar yang mapan, dan hiperkompetisi di bagian atas dan tengah piramida. Sekarang, perusahaan harus bisa menjangkau dan menggarap pasar yang selama ini dilupakan. Bank, misalnya, sekarang mulai membidik komunitas rural di pedesaan. Agusman dari Bank Indonesia dalam diskusi di MarkPlus bulan lalu mengatakan bahwa masih ada peluang besar bagi bank menggarap pedesaan. Kata Agusman, 13,3 persen penduduk Indonesia masih di bawah angka kemiskinan. Sementara, 64, 25 persen berada di pedesaan dan 60 persen tidak mempunyai akses perbankan. Lalu, ada sekitar 60-70 persen dari 51,3 juta UMKM belum tersentuh perbankan.Selain bank, perusahaan lain bisa melakukan langkah serupa dengan membidik komunitas-komunitas terpencil. Dell, milsanya, sukses menggarap komunitas rural di India dengan komputer murah. Ini untuk mengimbangi penurunan penjualan di pasar mapan.
Ketiga, kebijakan pemerintah untuk membangun daerah-daerah untuk mencegah laju urbanisasi ke pusat-pusat kota. Tentunya, dengan membangun infrastruktur yang membuat para investor tertarik untuk turut membangun di daerah tersebut. Sementara, pebisnis juga berani memutar uangnya di sana.
Ketiga kekuatan itulah yang menjadi modal menggarap potensi pasar yang selama ini termarginalkan. Toh, dengan membuat piradima ekonomi itu menjadi berbentuk berlian, para pebisnis juga dengan lebih kreatif dan leluasa melakukan inovasi di pasar ini. Banyak yang tidak berani menerjunkan diri ke wilayah rural ini dengan pertimbangan risiko, cost besar, dan sebagainya.Padahal, wilayah terpinggirkan yang mahaluas ini jadi potensi tersendiri untuk digarap. Menurut saya, bagus sekali kesimpulan yang dibuat Kotler: doing well by doing good disruptively—memiliki pertumbuhan bisnis yang bagus dengan memecahkan problem kemiskinan.
Nah, bagaimana dengan bisnis Anda
0 komentar:
Posting Komentar